Setiap putra-putri
bangsa Indonesia yang sudah lulus sekolah menengah atas pasti menginginkan melanjutkan
pendidikannya di perguruan tinggi, baik perguruan tinggi negeri maupun swasta.
Tetapi tak jarang impian mereka pupus karena ketidak mampuan mereka memenuhi
tingginya biaya pendidikan di perguruan tinggi. Sudah menjadi rahasia umum
biaya di perguruan tinggi hanya dapat dijangkau oleh masyarakat dari kalangan
yang “berduit”. Seperti yang dilansir Lampost.co, 23 Juni 2015 memberitakan
beberapa calon mahasiswa unila mundur karena tidak sanggup membayar Uang Kuliah
Tunggal (UKT) yang sudah ditetapkan pihak kampus. Alih-alih UKT (Uang Kuliah
Tunggal) mampu menjadi solusi dari permasalahan ini, tetapi kenyataanya tidak.
Masih ditahun yang sama (Balairungpress.htm,
03 Des 2015) memberitakan 13 mahasiswa
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) UGM terpaksa di cutikan
karena tidak sanggup membayar UKT.
Berdasakan
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 55 tahun 2013 Pasal 1, UKT
didefinisikan sebagai sebagian biaya kuliah tunggal yang ditanggung setiap
mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya. Pihak pemerintah berdalih bahwa
kebijakan ini mengusung konsep subsidi silang sehingga si miskin bisa mengenyam
pendidikan tinggi dengan biaya yang terjangkau sedangkan si kaya membantu
membiayai pendidikan si miskin dengan membayar lebih mahal.
Jika dilihat, konsep UKT ini baik saling
‘gotong royong’ dalam memenuhi kualitas pendidikan. Dengan adanya UKT, Negara
(dalam hal ini pemerintah) ingin berlepas tangan dalam tanggung jawab memenuhi
kualitas pendidikan warga negaranya, baik berupa biaya pendidikan maupun
fasilitas pendukung lainnya. Tanggung jawab ini seharusnya di penuhi negara
tetapi malah dibebankan kepada rakyatnya. Hal ini tidak heran ditemukan dalam
negara yang mengusung ide kapitalisme, karena kapitalisme inilah terjadi
penjajahan memalui liberalisasi pendidikan, pendidikan dijadikan barang komoditi
yang harus dipenuhi sendiri oleh warga negaranya, seperti yang pernah di
ungkapkan Prof.
Dr. Sofian Effendi—yang menganggap pendidikan sebagai salah satu industri
sektor tersier yang komoditasnya adalah jasa transformasi orang yang tidak
berpengetahuan dan tidak berketerampilan menjadi orang yang berpengetahuan dan
berketerampilan. Apalagi Indonesia telah meratifikasi General Agreement on
Tariff and Services (GATS) yang menyatakan bahwa pendidikan adalah salah satu
dari 12 sektor jasa yang harus diliberalisasi. Dengan cara pandang demikian,
maka penyelenggaraan pendidikan tak ubahnya seperti industry pada umumnya yang
sangat bergantung pada kemauan pasar dan berorientasi profit.
Artinya tidak semua
warga negaranya mampu merasakan pendidikan tinggi dengan cuma-cuma (baca:
gratis), hanya warga negara yang mampu ‘membeli’ jasa pendidikan sajalah yang
mendapakan pendidikan di perguruan tinggi. Jadi di negara yang mengusung ide
kapitalisme, pendidikan tinggi adalah barang mewah yang harus dipenuhi sendiri
oleh warga negaranya. Berbeda dengan Islam, Islam memandang bahwa negara
bertanggung jawab atas jaminan pemenuhan kebutuhan dasar bagi seluruh warga
seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Oleh karenanya Khalifah—sebagai
representasi negara—harus memastikan bahwa setiap warga negara terpenuhi
kebutuhannya. Dalam konteks pendidikan, Khalifah wajib menyediakan fasilitas
dan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai seperti gedung-gedung
sekolah, laboratorium, balai-balai penelitian, buku-buku pelajaran, dan lain
sebagainya. Negara Khilafah juga berkewajiban menyediakan tenaga-tenaga
pengajar yang ahli di bidangnya, sekaligus memberikan gaji yang cukup bagi guru
dan pegawai yang bekerja di kantor pendidikan. Atas tanggung jawab yang
dipenuhi oleh negara khilafah kepada warga negaranya, maka warga negaranya
tidak lagi memenuhi sendiri kebutuhan dasarnya (dalam hal ini pendidikan). Hanya
di dalam naungan Negara khilafah Rasyidah manhaj kenabian lah pendidikan tinggi
dapat dirasakan oleh seluruh warga negaranya tanpa memerhatikan si miskin dan
si kaya. Wallahu a’lam bi ash-shawab. [Anissyaul Umami]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar