Kamis, 10 Maret 2016

Barang Mewah Pendidikan Tinggi

Setiap putra-putri bangsa Indonesia yang sudah lulus sekolah menengah atas pasti menginginkan melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi, baik perguruan tinggi negeri maupun swasta. Tetapi tak jarang impian mereka pupus karena ketidak mampuan mereka memenuhi tingginya biaya pendidikan di perguruan tinggi. Sudah menjadi rahasia umum biaya di perguruan tinggi hanya dapat dijangkau oleh masyarakat dari kalangan yang “berduit”. Seperti yang dilansir Lampost.co, 23 Juni 2015 memberitakan beberapa calon mahasiswa unila mundur karena tidak sanggup membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang sudah ditetapkan pihak kampus. Alih-alih UKT (Uang Kuliah Tunggal) mampu menjadi solusi dari permasalahan ini, tetapi kenyataanya tidak. Masih ditahun yang sama (Balairungpress.htm, 03 Des 2015)  memberitakan 13 mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) UGM terpaksa di cutikan karena tidak sanggup membayar UKT.

Berdasakan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 55 tahun 2013 Pasal 1, UKT didefinisikan sebagai sebagian biaya kuliah tunggal yang ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya. Pihak pemerintah berdalih bahwa kebijakan ini mengusung konsep subsidi silang sehingga si miskin bisa mengenyam pendidikan tinggi dengan biaya yang terjangkau sedangkan si kaya membantu membiayai pendidikan si miskin dengan membayar lebih mahal. 
Jika dilihat, konsep UKT ini baik saling ‘gotong royong’ dalam memenuhi kualitas pendidikan. Dengan adanya UKT, Negara (dalam hal ini pemerintah) ingin berlepas tangan dalam tanggung jawab memenuhi kualitas pendidikan warga negaranya, baik berupa biaya pendidikan maupun fasilitas pendukung lainnya. Tanggung jawab ini seharusnya di penuhi negara tetapi malah dibebankan kepada rakyatnya. Hal ini tidak heran ditemukan dalam negara yang mengusung ide kapitalisme, karena kapitalisme inilah terjadi penjajahan memalui liberalisasi pendidikan, pendidikan dijadikan barang komoditi yang harus dipenuhi sendiri oleh warga negaranya, seperti yang pernah di ungkapkan Prof. Dr. Sofian Effendi—yang menganggap pendidikan sebagai salah satu industri sektor tersier yang komoditasnya adalah jasa transformasi orang yang tidak berpengetahuan dan tidak berketerampilan menjadi orang yang berpengetahuan dan berketerampilan. Apalagi Indonesia telah meratifikasi General Agreement on Tariff and Services (GATS) yang menyatakan bahwa pendidikan adalah salah satu dari 12 sektor jasa yang harus diliberalisasi. Dengan cara pandang demikian, maka penyelenggaraan pendidikan tak ubahnya seperti industry pada umumnya yang sangat bergantung pada kemauan pasar dan berorientasi profit.


Artinya tidak semua warga negaranya mampu merasakan pendidikan tinggi dengan cuma-cuma (baca: gratis), hanya warga negara yang mampu ‘membeli’ jasa pendidikan sajalah yang mendapakan pendidikan di perguruan tinggi. Jadi di negara yang mengusung ide kapitalisme, pendidikan tinggi adalah barang mewah yang harus dipenuhi sendiri oleh warga negaranya. Berbeda dengan Islam, Islam memandang bahwa negara bertanggung jawab atas jaminan pemenuhan kebutuhan dasar bagi seluruh warga seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Oleh karenanya Khalifah—sebagai representasi negara—harus memastikan bahwa setiap warga negara terpenuhi kebutuhannya. Dalam konteks pendidikan, Khalifah wajib menyediakan fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai seperti gedung-gedung sekolah, laboratorium, balai-balai penelitian, buku-buku pelajaran, dan lain sebagainya. Negara Khilafah juga berkewajiban menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidangnya, sekaligus memberikan gaji yang cukup bagi guru dan pegawai yang bekerja di kantor pendidikan. Atas tanggung jawab yang dipenuhi oleh negara khilafah kepada warga negaranya, maka warga negaranya tidak lagi memenuhi sendiri kebutuhan dasarnya (dalam hal ini pendidikan). Hanya di dalam naungan Negara khilafah Rasyidah manhaj kenabian lah pendidikan tinggi dapat dirasakan oleh seluruh warga negaranya tanpa memerhatikan si miskin dan si kaya. Wallahu a’lam bi ash-shawab. [Anissyaul Umami]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ya Allah, Aku Ingin ke Baitullah

     Sore ini dalam perjalanan ke forum ilmu yang jarak tempuhnya kurang lebih memakan waktu 30-45 menit, aku tenangkan hati dengan memak...